Raja Ampat, Papua Barat Daya – Isu pertambangan kembali memanas di Indonesia bagian timur. Kali ini, perhatian nasional dan internasional tertuju pada kasus tambang nikel di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, yang mencuat ke permukaan setelah ramai diperbincangkan di media sosial, forum lingkungan hidup, hingga akhirnya memicu tindakan tegas dari pemerintah pusat: pencabutan izin usaha pertambangan (IUP).
Tambang nikel yang sejatinya berada di kawasan kaya biodiversitas laut dan hutan tropis ini telah memicu kontroversi sejak awal. Namun baru pada pertengahan 2025, sorotan publik benar-benar menyentak kesadaran kolektif: bahwa investasi tambang di kawasan konservasi bisa jadi ancaman serius terhadap warisan alam dunia.

Awal Mula: Izin Usaha di Kawasan Sensitif
Kasus ini bermula dari pemberian IUP eksplorasi dan produksi kepada PT Arafura Surya Alam (ASA) pada tahun 2021 untuk melakukan kegiatan penambangan nikel di Pulau Kawe, wilayah administratif Kabupaten Raja Ampat. Lokasi tersebut berada tidak jauh dari kawasan perairan konservasi dan hutan lindung, yang menjadi rumah bagi ribuan spesies endemik.
Meski awalnya PT ASA mengantongi dokumen perizinan yang sah, termasuk AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), banyak pihak menilai proses pengesahan izin tersebut kurang transparan dan minim konsultasi publik.
Meledak di Media: Aktivis, Peneliti, dan Masyarakat Adat Angkat Bicara
Pertengahan tahun 2025, isu ini mencuat luas setelah beberapa aktivis lingkungan dan tokoh adat Raja Ampat mengunggah video dan data lapangan ke platform media sosial. Dalam video tersebut, tampak aktivitas land clearing (pembukaan lahan) yang merambah wilayah hutan primer dan menyebabkan kerusakan habitat burung cendrawasih, salah satu ikon Raja Ampat.
Lembaga seperti WALHI, Greenpeace, dan LBH Papua segera merespons dan menggelar konferensi pers nasional. Mereka menuding aktivitas tambang tersebut telah mengabaikan nilai ekologis dan kultural Raja Ampat, serta melanggar prinsip pembangunan berkelanjutan.
“Raja Ampat bukan ruang untuk ditambang. Ia adalah warisan hidup, bukan hanya bagi Papua tapi juga bagi dunia,” ujar Direktur Eksekutif WALHI Papua Barat.
Pemerintah Pusat Turun Tangan: Evaluasi dan Penindakan
Menanggapi eskalasi isu ini, Kementerian Investasi/BKPM dan Kementerian ESDM bergerak cepat. Presiden Joko Widodo sendiri disebut telah memanggil pejabat terkait dan meminta investigasi mendalam soal proses penerbitan izin di kawasan Raja Ampat.
Hasil evaluasi menunjukkan sejumlah indikasi pelanggaran administratif dan ketidaksesuaian zonasi tata ruang. Akhirnya, pada 21 Juli 2025, pemerintah secara resmi mengumumkan bahwa izin tambang PT ASA dicabut melalui Keputusan Menteri ESDM No. 387.K/MB.04/MEM/2025.
“Negara tidak akan mentolerir aktivitas pertambangan di kawasan konservasi. Kami cabut izinnya untuk melindungi masa depan ekologis Indonesia,” tegas Menteri ESDM dalam konferensi pers.
Reaksi Publik dan Internasional: Sorotan Tak Kunjung Reda
Pencabutan izin tambang ini disambut gembira oleh masyarakat adat, aktivis lingkungan, dan netizen Indonesia. Namun sorotan juga datang dari komunitas internasional. BBC, Reuters, dan Al Jazeera memberitakan pencabutan izin tambang Raja Ampat sebagai contoh penting bagaimana tekanan publik mampu menghentikan investasi yang dianggap merusak alam.
Tokoh masyarakat adat Raja Ampat, Mama Lena Faank, menyampaikan rasa haru dan ucapan terima kasih kepada seluruh masyarakat yang telah ikut bersuara.
“Tanah dan laut adalah rumah kami. Kami bukan anti pembangunan, tapi jangan bunuh alam untuk besok yang gersang,” ucapnya dalam forum adat.
Apa Selanjutnya?
Setelah izin dicabut, pemerintah pusat menyatakan akan:
- Melakukan pemulihan lingkungan di lokasi tambang yang telah rusak
- Memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat adat yang mempertahankan wilayahnya
- Meninjau kembali seluruh IUP di Papua Barat Daya
- Menyiapkan kebijakan tata ruang berbasis ekoregion yang lebih ketat
Di sisi lain, PT ASA disebut tengah menyiapkan gugatan hukum terhadap pencabutan izin, dengan alasan mereka memiliki dokumen legal yang sah. Proses ini diprediksi akan memasuki ranah pengadilan tata usaha negara (PTUN) dalam waktu dekat.
Ketika Suara Rakyat Menang atas Kepentingan Korporasi
Kasus tambang nikel di Raja Ampat menjadi pelajaran penting bahwa investasi tambang tidak boleh mengorbankan keberlanjutan lingkungan dan hak masyarakat adat. Pencabutan izin tambang ini bukan hanya tentang hukum, tapi juga tentang arah masa depan Indonesia dalam memilih antara eksploitatif atau lestari.
Kini, semua mata tertuju pada langkah pemerintah berikutnya: apakah ini satu kasus pengecualian, atau justru awal dari reformasi besar dalam tata kelola tambang Indonesia?
BACA ARTIKEL LAINNYA DISINI>> https://smk28petahanan.sch.id